Selasa, 22 Juli 2008

Selayang Senja di Sebuah Teluk

kepada ayu hamda

Sayang, lihatlah pulau kecil yang terapung itu. Bisakah kita menikmati selayang senja ini
berdua saja di sana?

Di belakang kita berjejer tiga ratus enam puluh lima tapak hari. Ada masa-masa luka
yang menanggalkan keintiman. Tapi, lebih banyak cinta yang terhirup dari percakapan
dan kesamaan pandangan. Berbagilah dengan hatimu, Sayang, ungkapkanlah perasaan
kita yang telah memintal udara sepanjang langkah yang telah terjejak.

Saat kita membentang tikar di pasri putih, menikmati hidangan yang kita bawa,
kurasakan ada kehidupan baru yang kita kembangkan. Kita melihat para nelayan menarik
tali yang berujung rajutan benang nilon yang mereka pasang di tengah laut. Lihatlah,
sayang, betapa wajah-wajah mereka penuh harapan. seperti kita yang slalu penuh
harapan dalam setiap kata yang juga kita rajut dalam benang batin.

Segumpal cerita telah kita tulis dalam hari-hari yang panjang. Meski kita tahu akan lebih
panjang lagi hari yang akan kita habiskan berdua. Mungkin di lain hari kita titap bisa
bercerita di atas pulau kecil di ujung laut itu. Setidaknya kita masih akan tetap bisa
berhayal bahwa kelak perahu kita akan sampai juga ke pulau kecil yang menghitam di
sirami senja.

Bila kita ingat jalan hutan berliku yang kita tempuh, kita baru bakan sadar, bahwa kita
telah seolah-olah mendaki sebuah bukit yang terjal. Tapi, apa yang kita temukan di bukit
yang terjal itu? Sebuah pantai. Sebuah pantai berpasir putih lembut yang ditumbuhi
tetumbuhan butan besar. Sebuah pantai yang menjadi pinggiran sebuah teluk. Dari sana
kita lihat para nelayan dan pulau kecil di batas cakrawala senja.

Padang, Juli 2007

Tidak ada komentar: