Selasa, 22 Juli 2008

Novel Tulisan Tuhan untuk Kita

Sayang, mungkin aku tak kan bisa menjelma lelaki-lelaki hebat seperti yang acap kau jumpa.
Aku cuma segumpal nyawa yang ditumpangkan Tuhan ke hatimu.
Apalah makna sekepal tinja; pun di lempar ke depan pintu mesjid. Secuil belulang yang telah di tinggalkan lalat. Sebongkah bangkai, aku tanpamu, Ayu. Sekerumunan kayu-kayu keropos dimakan anai-anai.

Kau yang membuatku berdalih ke ambang kenyataan. Membangkitkanku dari kuburan mayat-mayat hidup yang terlunta memohon cambuk malaikat. Di tengah peradaban kotor dan anjing-anjing pembangkang Tuhan. Kau yang menyayat hidupku menjadi indah. Dengan tulus hatimu yang menderu dalam tiupan-tiupan kecerdasan pola pikirmu mencium masa depan.

Cintailah aku, Ayu. Sebagaimana kau memang mencintaiku saja. Sampan ini terlanjur kita kayuh, meski pendayungku seadanya. Hari ini, dua tahun keberangkatan kita menuju angan pernikahan. Lautan gelombang itu tetap kita lalui, kan, Yu?

Maafkan lagi aku, Ayuku. Masih begini saja aku sedari senja di pantai Padang itu. Masih belum menjelma apa-apa. Pun semenjak senja di pantai Taluak Kabung, di pasir putih tempat kita berkhayal mengayuh perahu kecil ke pulau kecil di ujung laut, sebesar walet, hitam. Masih saja aku belum bisa mengigaukan cahaya esok di matamu. Mata yang terus saja membunuh sikap malasku menantang peradaban.

Cintailah aku, Ayu. Sebagaimana kau memang mencintaiku saja.

Andaipun kumati saat ini. Kematian itulah pertanda cinta kita membatu di langit.
Bila saja ku diperpanjang, kebahagiaanmu adalah hidupku. Kupergunakan sisa perjalanan kita untuk cinta.

Satu hal yang pasti, andai tuhan sudi menulis. Kisah kita akan jadi novel-Nya yang paling mengagumkan.

Lelakimu.
(Smoga harapan-harapan kita malam ini, menjadi prolog dalam novel Tuhan: kisah cinta paling menyentuh di alam)

Padang, Juli 2008

Tidak ada komentar: