Minggu, 01 Maret 2009

Belum



Cerita tentang kita
adalah catatan Tuhan
yang paling indah
tapi,
sepertinya malaikat
belum ditugaskan
membukukannya...

padang, maret 2009

Kamis, 22 Januari 2009

Cukup Senyummu Untukku


menangis ku dalam senja yang kerontang
menatap hampa;
menembus belantara kata
dalam tatanan tak karuan

aku kehilangan sesuatu
di masa depan:

kesempatan memilih yang lain

hatiku terikat hati lain
dalam jiwa perawan, gadis itu

masih dari penghujung hari yang melelahkan
satu serpih jiwanya berhamburan
merambah hutan keegoisan dalam letih
hidupku

dia berbiak dalam anganku
di bawah tempurung langit jelata
bersenandung gemuruh dalam kefanaan
hati yang penuh riak kebebasan
mengemban suratan yang
kubuat sendiri
mencuri takdir tuhan

aku dendam padanya
mengapa hatinya segitu bersih?
mencoret takdirnya sendiri
dengan cita-cita buas
mengangkatku dari kuburan
hidup bermandi lumpur kotor

seharusnya aku saja
yang memetik kebahagiaan di kolam surga
untuknya

dan dia cukup mencumbu hari-hariku
dengan senyuman...


padang, 22 Januari 2009


Selamat ulang tahun, sayang
kuingin bersamamu spanjang malam ini,
kan kuberikan sesuatu, meski cuma
sekedar ciuman ulang tahun di pipimu
tapi, kau jauh kini...

Selasa, 22 Juli 2008

Novel Tulisan Tuhan untuk Kita

Sayang, mungkin aku tak kan bisa menjelma lelaki-lelaki hebat seperti yang acap kau jumpa.
Aku cuma segumpal nyawa yang ditumpangkan Tuhan ke hatimu.
Apalah makna sekepal tinja; pun di lempar ke depan pintu mesjid. Secuil belulang yang telah di tinggalkan lalat. Sebongkah bangkai, aku tanpamu, Ayu. Sekerumunan kayu-kayu keropos dimakan anai-anai.

Kau yang membuatku berdalih ke ambang kenyataan. Membangkitkanku dari kuburan mayat-mayat hidup yang terlunta memohon cambuk malaikat. Di tengah peradaban kotor dan anjing-anjing pembangkang Tuhan. Kau yang menyayat hidupku menjadi indah. Dengan tulus hatimu yang menderu dalam tiupan-tiupan kecerdasan pola pikirmu mencium masa depan.

Cintailah aku, Ayu. Sebagaimana kau memang mencintaiku saja. Sampan ini terlanjur kita kayuh, meski pendayungku seadanya. Hari ini, dua tahun keberangkatan kita menuju angan pernikahan. Lautan gelombang itu tetap kita lalui, kan, Yu?

Maafkan lagi aku, Ayuku. Masih begini saja aku sedari senja di pantai Padang itu. Masih belum menjelma apa-apa. Pun semenjak senja di pantai Taluak Kabung, di pasir putih tempat kita berkhayal mengayuh perahu kecil ke pulau kecil di ujung laut, sebesar walet, hitam. Masih saja aku belum bisa mengigaukan cahaya esok di matamu. Mata yang terus saja membunuh sikap malasku menantang peradaban.

Cintailah aku, Ayu. Sebagaimana kau memang mencintaiku saja.

Andaipun kumati saat ini. Kematian itulah pertanda cinta kita membatu di langit.
Bila saja ku diperpanjang, kebahagiaanmu adalah hidupku. Kupergunakan sisa perjalanan kita untuk cinta.

Satu hal yang pasti, andai tuhan sudi menulis. Kisah kita akan jadi novel-Nya yang paling mengagumkan.

Lelakimu.
(Smoga harapan-harapan kita malam ini, menjadi prolog dalam novel Tuhan: kisah cinta paling menyentuh di alam)

Padang, Juli 2008

Keharuan yang Sakit

Hatiku mati, sayang
Kala kita disibak kesenjangan penghidupan
Menjerumuskan bincang ke selokan

Hanya kesalahan dalam rangkaian keharuan yang sakit
Tapi kuingin menjumpaimu saja, nanti
Tidak dalam matiku yang melukaimu

Andai belenggu ini mudah kubuka
Akan ada hati terpaut di penghujung jalan

Hatiku mati, sayang
Belenggu di hari-hariku kian membaja
Rangkaian keharuan masih akan melarut
Sampai ke titik-titik nafas terkecil

(masih akan panjang jalan menuju surga)

Padang 2007-2008



Sayap-Sayap di Telaga


Sudah kukekang sayap-sayapnya,
agar kematianmu urung, Kasih.

Saat itu warga kota berhamburan ke pinggir sungai, menjual kantung-kantung bunga.
Kubawakan sehelai daun pandan biru untukmu, sebab kuingat kau dalam bondongan-
bondongan yang bersuka ria itu.

Pernah aku berpikir akan membawakan telaga ke kamarmu. Akan kusertakan burung-
burung tanpa sayap, setelah kubuang sangkar-sangkar itul. Kalau kau suka, akan kujinjing
separuh angin. Dan separuh hati yang menghidupkan langkah-langkah.

Lalu aku akan menjagamu di atas perahu, selama telaga ini penuh dengan daun-daun pandan
yang kau rawat dengan cinta. Oh, lihatlah burung-burung itu telah memiliki sayap! Tapi
cintamu menahan mereka di sini, di kamarmu ini. Kita biarkan mereka terbang rendah
di bawah dagu kita, berhamburan, seperti anak-anak kita kelak.

Kau hanya tertawa. Katamu, kau suka memotretku tertawa. Pernah pula aku berpikir akan
membawamu ke telaga di belakang rumah ibuku. Kasih, berjanjilah..

Sebab sudah kukekang sayap-sayapnya di dasar telaga,
agar kematian kita urung.

Padang, Oktober 2006

23 Juli 2006

: Diferensiasi Maghrib di Pantai


saat itu ombak lagi memanjang
menguaskan ujung senja ke pasir
meninggalokan pulau hitam sebesar walet, di batas langit
sejajar dengan kapal ikan yang merapat
ke pusat cahaya jingga kecoklatan yang hampir memudar

kurasakan awan-awan merah berbintik-bintik
menyelipkan angin asin
berlompatan dari pohon kelapa klasik hijau tua
ke pohon kelapa plastik berwarna kuning norak
yang kalau malam berlampu-lampu kerlip

sementara laun memandangi harum punggungmu
kau berkata:
"harus ada diferensiasi, dong!"
dan tak kau habiskan pisang bakar keju yang kita pesan
aku diam saja, melihat ke sesuatu yang asing
antara kau dan aku

"kita pulang saja," katamu lagi

ah, suara adzan melidahkan pikiranku
"aku ingin kau jadi jiwaku!"

saat itu ombak lagi memanjang menguaskan ujung senja ke pasir
harapan kita juga memanjang
menguaskan ujung senja ke rumpun bunga di karang
seperti kapal ikan yang kian merapat
ke pusat cahaya jingga kecoklatan yang telah memudar
seperti putih yang hampir-hampir bening

padang, juli 2006

Selayang Senja di Sebuah Teluk

kepada ayu hamda

Sayang, lihatlah pulau kecil yang terapung itu. Bisakah kita menikmati selayang senja ini
berdua saja di sana?

Di belakang kita berjejer tiga ratus enam puluh lima tapak hari. Ada masa-masa luka
yang menanggalkan keintiman. Tapi, lebih banyak cinta yang terhirup dari percakapan
dan kesamaan pandangan. Berbagilah dengan hatimu, Sayang, ungkapkanlah perasaan
kita yang telah memintal udara sepanjang langkah yang telah terjejak.

Saat kita membentang tikar di pasri putih, menikmati hidangan yang kita bawa,
kurasakan ada kehidupan baru yang kita kembangkan. Kita melihat para nelayan menarik
tali yang berujung rajutan benang nilon yang mereka pasang di tengah laut. Lihatlah,
sayang, betapa wajah-wajah mereka penuh harapan. seperti kita yang slalu penuh
harapan dalam setiap kata yang juga kita rajut dalam benang batin.

Segumpal cerita telah kita tulis dalam hari-hari yang panjang. Meski kita tahu akan lebih
panjang lagi hari yang akan kita habiskan berdua. Mungkin di lain hari kita titap bisa
bercerita di atas pulau kecil di ujung laut itu. Setidaknya kita masih akan tetap bisa
berhayal bahwa kelak perahu kita akan sampai juga ke pulau kecil yang menghitam di
sirami senja.

Bila kita ingat jalan hutan berliku yang kita tempuh, kita baru bakan sadar, bahwa kita
telah seolah-olah mendaki sebuah bukit yang terjal. Tapi, apa yang kita temukan di bukit
yang terjal itu? Sebuah pantai. Sebuah pantai berpasir putih lembut yang ditumbuhi
tetumbuhan butan besar. Sebuah pantai yang menjadi pinggiran sebuah teluk. Dari sana
kita lihat para nelayan dan pulau kecil di batas cakrawala senja.

Padang, Juli 2007